Khutbah Idul Fitri: Rektor IAIN Gorontalo Mengajak Memaknai Idul fitri Sebagai Momentum Kebangkitan Akhlak

Gorontalo – Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo Dr. H. Zulkarnain Suleman, M.HI, bertindak sebagai khatib usai pelaksanaan Ibadah Shalat Idul Fitri 1443 H di Masjid Masjid Ar-Rahman Desa Bulila Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo, Senin, (2/5/22).

Pada kesempatan itu Dr. H. Zulkarnain Suleman mengajak khususnya jamaah yang hadir dan umumnya kepada seluruh umat untuk Memaknai Idul fitri Sebagai Momentum Kebangkitan Akhlak.

“Ibadah puasa sebagaimana yang diperintahkan di dalam kitab suci al- Qur’an, dimaksudkan sebagai latihan pengendalian jiwa agar dapat mencapai derajat ketakwaan yang lebih tinggi, yakni suatu kondisi kejiwaan yang menghayati kehadiran Allah dalam setiap aktivitas hidup.” Ungkap Rektor

Lebih lanjut lagi Rektor menjelaskan, taqwa dalam pengertian yang lebih luas, adalah pengendalian diri, yang juga sebenarnya berarti kemampuan menunda kesenangan yang bersifat sesaat demi mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya, yakni kebahagiaan ruhaniah.

“Dengan begitu, taqwa juga dapat dipahami sebagai sikap pengharapan terhadap masa depan, yakni dengan mengendalikan diri menunda kesenangan duniawi demi kebahagiaan akhirat yang lebih abadi. Jelasnya

Lebih jauh lagi Rektor menambahkan, tujuan puasa dalam jangka panjang, adalah menjadikan taqwa sebagai asas dan pandangan hidup yang benar, yang darinya kemudian memancar moralitas dan budi pekerti yang mulia (akhlakul karimah). Melalui pencapaian tujuan perintah berpuasa tersebut, orang beriman akan dengan sendirinya dapat melepaskan diri dari kekangan nafsu, yang selanjutnya dapat melakukan ihtisab (instropeksi diri) sebagai syarat memperoleh ampunan Allah swt.

“Koreksi diri adalah tindakan yang sangat sulit dilakukan, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki sikap jujur dan rendah hati.” Tandasnya

Menuruntnya, jika seseorang tidak mampu melakukan koreksi dan kritik diri, maka yang akan terjadi adalah munculnya sikap sombong, selalu merasa dirinya benar, atau bahkan lebih fatal, menganggap dirinya paling benar.

“Sikap seperti ini mirip dengan ungkapan melayu yang sangat popular: kuman di seberang lautan jelas terlihat, sedang gajah mati di pelupuk mata tak nampak.” pungkasnya