Jakarta (Kemenag) — Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengajak para dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia aktif dalam gerakan penguatan moderasi beragama. Pesan ini disampaikan Wamenag saat berbicara pada Webinar tentang “Reflekasi Kemerdekaan dalam Perspektif Moderasi Beragama”.
Webinar ini digelar Dewan Dosen Indonesia, Senin (23/8/2021). Hadir, Ketua Umum Dewan Dosen Indonesia, Ahmad Zakiyuddin, beserta jajarannya. Wabinar diikuti para pengurus Persatuan Guru Besar Indonesia (PERGUBI), Persaudaraan Dosen Republik Indonesia (PDRI), Forum Silaturahmi Doktor Indonesia (FORSILADI), Perkumpulan Dosen Program Hibah Indonesia (PDPHI), Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK), Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII), dan Forum Kerjasama Pendidikan Tinggi (FKPT).
“Saya mengajak dosen di berbagai perguruan tinggi di tanah air, untuk menjadi bagian dan turut serta dalam gerakan moderasi beragama. Jangan sampai kita diam ketika melihat fakta atas ekstrimisme dan intorelansi yang mengkoyak-koyak nasionalisme-keindonesiaan atas dasar keagamaan, tak terkecuali di ruang publik digital,” pesan Wamenag.
Sebelumnya, Wamenag menjelaskan hasil riset disertasinya yang menunjukkan bahwa saat ini tengah terjadi proses kontestasi ideologi politik gerakan intoleransi dan ekstrimisme keagamaan di masyarakat terutama melalui infrastruktur media digital. Ruang publik digital, dalam temuan penelitian Wamenag, dinilai telah memfasilitasi gerakan intoleransi dan ekstrimisme untuk memproduksi dan mendistribusikan wacana ideologi politiknya di luar batasan sempit lembaga formal dan politik elektoral. Dampaknya, beberapa riset menunjukkan terjadinya penurunan atau memudarnya semangat nasionalisme keindonesiaan di masyarakat luas, khususnya di generasi millennial.
“Ini merupakan tantangan tersendiri bagi negara-bangsa kita di saat Kemerdekaan RI yang ke-76 ini,” tegas Wamenag.
Dikatakan Wamenag, setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi, utamanya di ruang publik digital. Pertama, berkembangnya cara pandang, sikap, dan praktek beragama yang berlebihan atau ekstrim, yang tidak lagi menjadikan kemaslahatan kemanusiaan sebagai tujuan beragama. Agama yang sejatinya mulia, dipahami oleh sebagian masyarakat justeru menjadi pembenaran untuk menghilangkan hak-hak kemanusiaan: hak untuk hidup, hak untuk memperoleh keadilan, dan hak untuk mendapatkan perlakuan-perlakuan yang semetinya.
Kedua, berkembangnya klaim kebenaran (truth claim) secara subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama yang demikian kuat. Terlebih, tafsir agama itu dijadikan “komoditas” untuk meraih pengaruh kepentingan ekonomi dan politik sehingga pada gilirannya berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
Ketiga, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Militansi keagamaan diperhadapkan dengan militansi keindonesiaan, hingga menyentuh pada mengkafirkan ideologi Pancasila. Agama dan nasionalisme yang semestinya memiliki relasi yang fungsional dan saling menguatkan, tetapi dalam fenomena masyarakat tidak sedikit malah justeru memperhadapkan dan menegasikan antar satu dengan yang lainnya.
“Sebagai civitas akademika, para dosen perlu hadir memberikan pencerahan. Dampingi dan advokasi masyarakat sehingga dewasa dalam bermedia digital dan menjadikannya sebagai instrumen memperkuat semangat keindonesiaan,” tandasnya.